Catatan tentang Ketentuan Kuasa Wajib Pajak sejak UU KUP 2000, UU KUP 2007 serta PMK 22 tahun 2008
Tulisan ini sekali lagi mencoba menyoroti kebijakan pemerintah tentang ketentuan kuasa Wajib Pajak sejak diberlakukannya UU KUP 2000, UU KUP 2007 serta PMK 22 tahun 2008 yang penuh kontroversi.
- Pasal 32 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut dengan UU KUP) menyatakan bahwa:
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Adapun mengenai persyaratan seseorang kuasa Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan (selanjutnya disebut ”kuasa” Wajib Pajak) diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) sebagai berikut ini:
Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Atas dasar kuasa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tersebut, pada tanggal 26 Desember tahun 2000, Menteri Keuangan mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 576/KMK.04/2000 (selanjutnya disebut KMK 576) yang dalam Pasal 1 ayat (2) memuat persyaratan tentang seorang kuasa Wajib Pajak sebagai berikut :
- Menyerahkan surat kuasa khusus yang asli.
- Menguasai ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan.
- Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana dibidang keuangan negara.
Lebih lanjut Pasal 1 ayat (3) KMK 576 tersebut menyatakan bahwa seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, apabila telah memperoleh pendidikan di bidang perpajakan yang dibuktikan dengan memiliki:
- Brevet yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, atau
- Ijazah formal pendidikan dibidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan negeri atau swasta dengan status disamakan dengan negeri.
- Dengan demikian atas dasar Pasal 32 ayat (3) huruf b dan ayat (3a) UU PPh serta Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) KMK 576 seperti tersebut dalam poin 1 dan 2 di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang dapat menjadi kuasa Wajib Pajak dapat melalui JALUR sebagai berikut di bawah iniTabel 1
- Untuk JALUR ”Brevet Pajak” yang diterbitkan oleh Ditjen Pajak, seseorang boleh menjadi kuasa Wajib Pajak, berdasarkan Pasal 2 angka 9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 485/KMK.03/2003 tanggal 30 Oktober 2003 (selanjutnya disingkat KMK 485), harus memiliki ”Sertifikat Konsultan Pajak”.
- Untuk mendapatkan ”Sertifikat Konsultan Pajak” tersebut, harus lulus ujian sertifikasi konsultan pajak yang oleh Pasal 6 ayat (1) KMK 485, penyelenggaraanya diserahkan kepada Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).
- Selain itu, dalam Pasal 3 ayat (4) KMK 485, JALUR ”Brevet Pajak” juga diberikan kepada ”Pensiunan Pegawai Ditjen Pajak”.
- Berdasarkan penjelasan poin 4, 5, dan 6 tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang boleh menjadi kuasa Wajib Pajak dapat digambarkan dalam Tabel 2 berikut ini:Tabel 2
- Akan tetapi, pada tanggal 13 Oktober 2005 Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.03/2005 (selanjutnya disingkat PMK 97) yang menyatakan bahwa seseorang untuk menjadi kuasa Wajib Pajak hanya dapat melalui JALUR ”Brevet Pajak”, sehingga seseorang yang ingin menjadi kuasa untuk menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan melalui JALUR (1) ”dihilangkan”.
- PMK 97 ini juga diberlakukan surut, sehingga para lulusan di bidang perpajakan dari perguruan tinggi negeri maupun swasta yang disamakan negeri yang pada saat sebelum tanggal 13 Oktober 2005 boleh menjadi kuasa Wajib Pajak (berdasarkan KMK 576), maka sejak tanggal 13 Oktober 2005 mereka tidak boleh lagi menjadi seorang kuasa Wajib Pajak.
- Dengan berlaku surut-nya PMK 97 ini menyebabkan para mahasiswa lulusan di bidang perpajakan dari perguruan tinggi negeri maupun swasta yang telah lulus sebelum berlakunya PMK 97 tersebut kehilangan hak mereka sebagai seseorang kuasa Wajib Pajak. Hak mereka menjadi kuasa Wajib Pajak yang mereka peroleh berdasarkan KMK 576 tiba-tiba dicabut oleh PMK 97. PMK 97 ini sebenarnya cacat hukum karena tidak memberikan Pasal Peralihan yang tetap memperbolehkan seseorang menjadi kuasa Wajib Pajak yang pada saat PMK 97 tersebut diterbitkan telah menjadi kuasa Wajib Pajak berdasarkan KMK 576. Ketentuan yang berlaku surut ini menyalahi prinsip legal certainty. Apabila ketentuan yang berlaku surut ini diterapkan, maka tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat umum. Lebih lanjut, ketentuan hanya boleh berlaku surut apabila untuk melindungi negara yang dalam bahaya. Jika penerbitan peraturan tidak sesuai dengan konsep tersebut, maka peraturan tersebut sebenarnya batal demi hukum.
- Apabila poin 8, 9, dan 10 tersebut disajikan dalam bentuk skema, maka seseorang yang dapat menjadi kuasa Wajib Pajak dapat digambarkan dalam Tabel 3 berikut ini:Tabel 3
- Dengan diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pemerintah telah mengeluarkan PP 80 tahun 2007 yang dalam Pasal 28 mengatur tentang kuasa Wajib Pajak. Dalam Pasal 28 ayat (2) PP 80 tahun 2007 tersebut menyatakan bahwa kuasa Wajib Pajak dapat dijalankan oleh (i) konsultan pajak dan (ii) bukan konsultan pajak. Lebih lanjut, Pasal 8 ayat (3) menyatakan bahwa syarat untuk menjadi kuasa harus menguasai peraturan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
- Siapa yang dapat dianggap menguasai peraturan perpajakan? Penjelasan Pasal 28 ayat (3) PP 80 tahun 2007 menyatakan sebagai berikut:
- Konsultan Pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai peraturan ketentuan perundang-undangan perpajakan apabila dapat menyerahkan fotokopi surat izin praktik konsultan pajak yang dilengkapai surat pernyataan sebagai konsultan pajak.
- Seorang kuasa yang bukan konsultan pajak dianggap menguasai peraturan ketentuan perundang-undangan perpajakan apabila dapat menyerahkan fotokopi sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh perguruan tinggi negeri atau swasta dengan status terakreditasi A, sekurang-kurangnya tingkat Diploma III.
- Dengan demikian, pengaturan seseorang yang dapat menjadi kuasa Wajib Pajak yang diatur dalam PP 80 tahun 2007 pada hakekatnya sama dengan yang diatur dalam KMK 576 yaitu melalui (i) JALUR Brevet Pajak (konsultan pajak) dan (ii) JALUR perguruan tinggi di bidang perpajakan (bukan konsultan pajak). Dalam bentuk Tabel dapat digambarkan sebagai berikut :Tabel 4
- Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 31 PP 80 tahun 2007, ketentuan tentang syarat mengenai kuasa Wajib Pajak yang berasal dari JALUR Brevet Pajak (konsultan pajak) akan diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
- Pada tanggal 6 Februari 2008, atas dasar kuasa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dan Pasal 31 PP 80 tahun 2007, dikeluarkan PMK 22 tahun 2008 (selanjutnya disebut PMK 22). Akan tetapi, PMK 22 tersebut bukannya mengatur tentang persyaratan kuasa Wajib Pajak yang berasal dari JALUR Brevet Pajak, malahan membatasi kuasa Wajib Pajak yang berasal dari perguruan tinggi yang sebenarnya sudah diatur secara jelas dalam PP 80 tahun 2007. Seharusnya PMK tersebut sifatnya hanya menjelaskan PP 80 tahun 2007 dan bukan memperluas PP 80 tahun 2007 serta tidak boleh membatasi lulusan jurusan pajak dari perguruan tinggi. Dengan terbitnya PMK 22 ini, maka seseorang yang menjadi kuasa Wajib Pajak akan tampak seperti dalam Tabel 5 berikut iniTabel 5
- Ternyata pembatasan tidak hanya diterapkan kepada kuasa Wajib Pajak yang berasal dari JALUR perguruan tinggi saja, tetapi meluas kepada karyawan perusahaan. Dalam Pasal 4 PMK 22 ini, karyawan perusahaan hanya boleh menjadi kuasa atau mewakili perusahaan (Wajib Pajak) di mana dia bekerja sebatas dari:
- Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
- Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 1,8 miliar dalam 1 tahun.
- Wajib Pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 2,4 miliar dalam 1 tahun.
- Dengan ketentuan ini, PMK 22 telah berlaku diskriminasi dan memberikan hak monopoli kepada organisasi profesi tertentu serta mengarahkan perusahaan untuk memakai jasa konsultan pajak dari suatu organisasi profesi tertentu tersebut untuk dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakan mereka. Perusahaan yang mempunyai karyawan yang ahli pajak tidak dapat memperdayakan karyawannya tersebut. Ini tentunya akan menimbulkan biaya tinggi bagi perusahaan dan mempersulit Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya.
- PMK 22 ini tentunya akan memperkecil peluang bagi lulusan perguruan tinggi di bidang perpajakan untuk bekerja sebagai seorang kuasa Wajib Pajak maupun bekerja sebagai karyawan di bidang perpajakan. Implikasi lebih luas dari PMK 22 ini akan menyebabkan orang berpikir panjang untuk mengambil jurusan pajak dan tentunya berdampak kepada pengembangan sistem perpajakan Indonesia karena orang akan malas untuk mendalami perpajakan secara akademis atau secara keilmuan. Ini tentu tidak kondusif bagi Ditjen Pajak sendiri.
- Menurut Victor Thuronyi (Senior Councel Taxation – IMF) dan Frans Vanistendael (Head of European Tax College) menyatakan bahwa sangat sulit untuk melaksanakan suatu sistem perpajakan dengan baik jika tidak melibatkan tax advisor. Hal ini disebabkan karena hampir sebagian besar Wajib Pajak susah untuk dapat memahami seluruh peraturan pajak dengan tepat karena rumitnya peraturan pajak tersebut. Dalam kontek inilah diperlukan seorang tax advisor untuk menjadi kuasa Wajib Pajak agar Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar.
- Oleh karena pentingnya kedudukan tax advisor ini dalam sistem perpajakan, maka mereka menyarankan agar terdapat suatu aturan tentang profesi tax advisor. Aturan tersebut dibutuhkan untuk melindungi Wajib Pajak dari tax advisor yang tidak memiliki keahlian. Akan tetapi, jangan sampai aturan tersebut disalahgunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu dan jangan sampai aturan tersebut membatasi hak seseorang yang punya keahlian di bidang perpajakan untuk berprofesi sebagai tax advisor dengan cara menciptakan birokrasi tambahan yang seharusnya tidak diperlukan.
- Kemudian, mereka mengatakan bahwa pada umumnya profesi di bidang perpajakan dijalankan oleh tiga kelompok yaitu (i) accountants, (ii) lawyers, dan (iii) other tax advisor. Pertanyaan yang bersifat politis adalah apakah profesi ini harus dijalankan dengan monopoli? Dengan monopoli diharapkan dapat menghindari masuknya orang-orang yang tidak berkompeten dalam memberikan jasa perpajakan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa monopoli tidak dapat sepenuhnya menghilangkan pemberian jasa perpajakan yang tidak berkualitas. Hal ini dapat terjadi jika para kuasa Wajib Pajak yang tidak kompeten justru yang melakukan monopoli. Di lain pihak, jika orang yang memiliki kualitas pengetahuan perpajakan dipersulit untuk dapat memasuki profesi tersebut, maka monopoli akan menghasilkan kuasa Wajib Pajak yang tidak berkualitas.
- Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael juga mengingatkan bahwa untuk mengembangkan profesi tax advisor agar dihindari pemberian hak eksklusif untuk memasuki profesi tax advisor hanya kepada satu wadah tertentu saja. Dengan demikian, ketika suatu syarat utama untuk menjadi kuasa Wajib Pajak adalah melalui ijazah formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh perguruan tinggi, maka dalam rangka untuk menghindari monopoli harus ada suatu ketentuan yang mengatur alternatif lain untuk menjadi tax advisor yaitu melalui tes resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah, yang tingkat kompetensinya sama dengan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Dengan demikian, seseorang yang ingin berkarir sebagai kuasa Wajib Pajak dapat memilih lewat ”jalur perguruan tinggi di bidang perpajakan” atau ”melalui tes resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah” bagi mereka yang tidak memilik ijazah formal di bidang perpajakan.
- Lebih lanjut Victor Thuronyi dalam bukunya yang berjudul Comparative Tax Law[2] mengungkapkan bahwa masalah regulasi tentang profesi kuasa Wajib Pajak pada dasarnya dibagi menjadi tiga sistem yaitu: (i) Full Regulation, (ii) Partial Regulation, dan (iii) No Regulation. Dalam sistem Full Regulation diatur bahwa hanya tax advisor yang mempunyai lisensi yang bisa memberikan konsultasi di bidang perpajakan (dianut oleh Jerman). Kalau dalam sistem Partial Regulation, pada dasarnya siapapun boleh memberikan konsultasi di bidang perpajakan atau mengisi SPT Wajib Pajak, akan tetapi bagi yang mengisi SPT wajib untuk menandatangani SPT tersebut (dianut oleh USA). Sedangkan dalam sistem No Regulation, tidak diatur sama sekali mengenai ketentuan tentang profesi kuasa Wajib Pajak, artinya semua orang dapat memberikan jasa konsultasi pajak tanpa adanya hambatan (restriction) dan sistem ini dianut oleh banyak negara (misalnya Belgia, Itali, Portugal, Inggris, dan Spanyol).
A. UU KUP Tahun 2000
A1. Sebelum 13 Oktober 2005
A.2. Setelah 13 Oktober 2005
B. UU KUP Tahun 2007
C. Studi Perbandingan tentang Persyaratan Kuasa Wajib Pajak dan Profesi
Kuasa Wajib Pajak[1]
D. Kesimpulan dan Saran
- Apa yang dinyatakan dalam Pasal 28 ayat (2), ayat (3) PP 80 tahun 2007 dan Penjelasannya yang menyatakan bahwa seseorang bisa menjadi kuasa Wajib Pajak tidak hanya melalui JALUR Brevet Pajak (konsultan pajak) tetapi juga dapat melalui JALUR lulusan perguruan tinggi di bidang perpajakan ternyata oleh PMK 22 tahun 2008 dibatasi ruang geraknya.
- Dalam rangka untuk memperluas penciptaan lapangan pekerjaan yang saat ini semakin sulit didapat, serta memperhatikan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 setelah Perubahan ke-empat yang menyatakan
” Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian ”
maka seseorang yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan yang berasal dari JALUR pendidikan formal berhak atas pekerjaan sebagai kuasa Wajib Pajak sesuai dengan keahlian yang mereka miliki tanpa ada hambatan melalui penciptaan suatu birokrasi tambahan. - Dalam rangka memberikan kepastian hukum, seharusnya persyaratan tentang kuasa Wajib Pajak dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang dan tidak didelegasikan kepada Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini didasarkan pada pengalaman agar tidak terjadi lagi perubahan peraturan yang diberlakukan surut yang melukai rasa keadilan, seperti yang telah diuraikan dalam poin IA dan IB.
- Apabila diinginkan suatu Peraturan Menteri Keuangan yang ingin mengatur tentang kuasa Wajib Pajak seperti diatur dalam PMK 22 tahun 2008, hendaknya Peraturan Menteri Keuangan tersebut tidak boleh bertentangan dan tidak boleh memperluas ketentuan kuasa Wajib Pajak sebagaimana telah diatur dalam PP 80 tahun 2007. Lebih lanjut, perlu adanya public expose terlebih dahulu untuk mendengar pendapat pihak-pihak yang terkena dampak atas peraturan yang akan diterbitkan.
- Dengan memperhatikan poin-poin tersebut di atas dan menyelaraskan dengan ketentuan kuasa hukum berdasarkan PMK No. 06/PMK.01/2007, serta mengingat bahwa UU KUP memberi kesempatan bagi siapapun untuk dapat menjadi kuasa Wajib Pajak sepanjang menguasai ketentuan perpajakan (tidak seperti akuntan publik yang hanya dibuka untuk jurusan akuntansi saja maupun advokat yang dibuka juga hanya untuk jurusan hukum saja), maka penulis berpendapat seyogianya persyaratan dasar (minimal) untuk menjadi kuasa Wajib Pajak diatur seperti terlihat dalam Tabel 6 di bawah ini:Tabel 6
- Oleh karena Tabel 6 tersebut di atas hanya merupakan persyaratan dasar (minimal), maka perlu diatur lebih lanjut lagi mengenai peningkatan kompetensi kuasa Wajib Pajak oleh suatu organisasi profesi kuasa Wajib Pajak atau konsultan Wajib Pajak yang didirikan berdasarkan Undang-undang yang anggotanya terdiri dari tiga JALUR tersebut di atas. Dengan kata lain, organisasi profesi kuasa Wajib Pajak atau konsultan pajak tersebut hendaknya dikembangkan atas dasar tiga pondasi JALUR tersebut.
- Dengan demikian, tugas pokok asosiasi profesi kuasa Wajib Pajak atau konsultan pajak adalah mengembangkan kurikulum perpajakan bagi perguruan tinggi perpajakan, mengembangkan pendidikan kompetensi profesi perpajakan, memperjuangkan adanya piagam hak-hak Wajib Pajak (taxpayer right), dan menjadi salah satu mitra kritis Direktorat Jenderal Pajak.
- Dengan kondisi demikian, diharapkan sistem perpajakan Indonesia dapat berkembang menuju ke arah yang lebih baik lagi. Atau dengan kata lain, menuju suatu sistem perpajakan ideal dengan ditopang oleh pihak-pihak yang berkepentingan atas perpajakan Indonesia yang satu sama lain saling mendukung dan bukan saling menjegal. Semoga.
[1] Disarikan dari Tulisan Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael, Tax Law Design and Drafting, IMF, 1996, hal.135-141. Prof. Frans Vanistendael adalah dosen salah satu penulis (Darussalam) saat belajar di Tilburg University Belanda.
[2] Victor Thuronyi, Comparative Tax Law, Kluwer Law International, 2003, hal. 228.